Sabtu, November 06, 2010

ASKEP TUMOR TESTIS

DEFINISI

Kanker Testis adalah pertumbuhan sel-sel ganas di dalam testis (buah zakar), yang bisa menyebabkan testis membesar atau menyebabkan adanya benjolan di dalam skrotum (kantung zakar).

Kanker testikuler, yang menempati peringkat pertama dalam kematian akibat kanker diantara pria dalam kelompok umur 20 sampai 35 tahun, adalah kanker yang paling umum pada pria yang berusia 15 tahun hingga 35 tahun dan merupakan malignansi yang paling umum kedua pada kelompok usia 35 tahun hingga 39 tahun.



Kanker yang demikian diklasifikasikan sebagai germinal atau nongerminal. Tumor germinal timbul dari sel-sel germinal testis (seminoma, terakokarsinoma, dan karsinoma embrional); tumor germinal timbul dari epithelium.

Klasifikasi patologik tumor testis menurut WHO:

  1. Tumor sel bening:
    1. Tumor dengan satu pola histologik:
      1. Seminoma
        1. Seminoma spermatositik
        2. Karsinoma embrional
        3. Yolk sac tumor (Karsinoma embrional tipe infantile)
      2. Teratoma:
        1. Matur
        2. Imatur
        3. Dengan transformasi maligna
    2. Tumor dengan lebih dari satu pola histoligik:
      1. Karsinoma embrional plus teratoma (teratokarsinoma)
      2. Kariokarsinoma dan tipe lain apapun (perinci tipe-tipenya)
      3. Kombinasi lain (perinci)
  1. Tumor stromal-Tali kelamin:
    1. Bentuk berdiferensiasi baik:
      1. Tumor sel leydig
      2. Tumor sel sertoli
      3. Tumor sel granulosa
    2. Bentuk campuran (perinci)
    3. Bentuk berdiferensiasi tidak lengkap


 

Sebagian besar neoplasma adalah germinal, dengan sekitar 40% adalah seminoma. Seminoma cenderung untuk tetap setempat, sementara tumor nonseminomas tumbuh cepat. Penyebab tumor testikuler tidak diketahui, tetapi kriptokhidisme, infeksi, dan faktor-faktor genetic dan endokrin tampak berperan dalam terjadinya tumor tersebut.


 

Risiko kanker testikuler adalah 35 kali lebih tinggi pada pria dengan segala tipe testis yang tidak turun ke dalam skrotum dibanding dengan populasi umum. Tumor testis biasanya malignan dan cenderung untuk bermetastasis lebih dini, menyebar dari testis ke dalam nodus limfe dalam retroperineum dan ke paru-paru.


 

PATOFISIOLOGI

Tumor testis pada mulanya berupa lesi intratestikuler yang akhinya mengenai seluruh parenkim testis. Sel-sel tumor kemudian menyebar ke rate testis, epididimis, funikulus spermatikus, atau bahkan ke kulit scrotum. Tunika albugenia merupakan barrier yang sangat kuat bagi penjalaran tumor testis ke organ sekitarnya, sehingga kerusakan tunika albugenia oleh invasi tumor membuka peluang sel-sel tumor untuk menyebar keluar testis

Kecuali kariokarsinoma, tumor testis menyebar melalui pembuluh limfe menuju ke kelenjar limfe retroperitoneal (para aorta) sebagai stasiun pertama, kemudian menuju ke kelenjar mediastinal dan supraclavikula, sedangkan kariokarsinoma menyebar secara hematogen ke paru, hepar, dan otak.


 

PENYEBAB

Kebanyakan kanker testis terjadi pada usia di bawah 40 tahun. Penyebabnya yang pasti tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang menunjang terjadinya kanker testis:

  1. Testis undesensus (testis yang tidak turun ke dalam skrotum)
  2. Perkembangan testis yang abnormal
  3. Sindroma Klinefelter (suatu kelainan kromosom seksual yang ditandai dengan rendahnya kadar hormon pria, kemandulan, pembesaran payudara (ginekomastia) dan testis yang kecil).

Faktor lainnya yang kemungkinan menjadi penyebab dari kanker testis tetapi masih dalam taraf penelitian adalah pemaparan bahan kimia tertentu dan infeksi oleh HIV. Jika di dalam keluarga ada riwayat kanker testis, maka resikonya akan meningkat. 1% dari semua kanker pada pria merupakan kanker testis. Kanker testis merupakan kanker yang paling sering ditemukan pada pria berusia 15-40 tahun. Kanker testis dikelompokkan menjadi:

  1. Seminoma : 30-40% dari semua jenis tumor testis. Biasanya ditemukan pada pria berusia 30-40 tahun dan terbatas pada testis.
  2. Non-seminoma: merupakan 60% dari semua jenis tumor testis. Dibagi menjadi subkategori:
    1. Karsinoma embrional: sekitar 20% dari kanker testis, terjadi pada usia 20-30 tahun dan sangat ganas. Pertumbuhannya sangat cepat dan menyebar ke paru-paru dan hati.
    2. Tumor yolk sac: sekitar 60% dari semua jenis kanker testis pada anak laki-laki.
    3. Teratoma: sekitar 7% dari kanker testis pada pria dewasa dan 40% pada anak laki-laki. - Koriokarsinoma.
    4. Tumor sel stroma: tumor yang terdiri dari sel-sel Leydig, sel sertoli dan sel granulosa. Tumor ini merupakan 3-4% dari seluruh jenis tumor testis. Tumor bisa menghasilkan hormon estradiol, yang bisa menyebabkan salah satu gejala kanker testis, yaitu ginekomastia.


 

MANIFESTASI KLINIS

Gejala berupa :

  1. Testis membesar atau teraba aneh (tidak seperti biasanya)
  2. Benjolan atau pembengkakan pada salah satu atau kedua testis
  3. Nyeri tumpul di punggung atau perut bagian bawah - Ginekomastia
  4. Rasa tidak nyaman/rasa nyeri di testis atau skrotum terasa berat.

Tetapi mungkin juga tidak ditemukan gejala sama sekali. Gejala timbul dengan sangat bertahap dengan massa atau benjolan pada testis yang tidak nyeri. Pasien dapat mengeluh rasa sesak pada skrotum, area inguinal, atau abdomen dalam. Sakit pinggang (akibat perluasan nodus retroperineal), nyeri pada abdomen, penurunan berat badan, dan kelemahan umum dapat diakibatkan oleh metastasis. Pembesaran testis tanpa nyeri adalah temuan diagnostik yang signifikan.

Satu-satunya metode deteksi dini yang efektif adalah pemeriksaan testis mandiri. Suatu bagian penting dari promosi kesehatan untuk pria harus mencakup pameriksaan mandiri. Pengajaran tentang pemeriksaan mandiri adalah intervensi penting untuk deteksi dini penyakit ini.


 

EVALUASI DIAGNOSTIK

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan:

  1. USG skrotum
  2. Pemeriksaan darah untuk petanda tumor AFP (alfa fetoprotein), HCG (human chorionic gonadotrophin) dan LDH (lactic dehydrogenase).

Hampir 85% kanker non-seminoma menunjukkan peningkatan kadar AFP atau beta HCG.

  1. Rontgen dada (untuk mengetahui penyebaran kanker ke paru-paru)
  2. CT scan perut (untuk mengetahui penyebaran kanker ke organ perut)
  3. Biopsi jaringan.

Human chorionic gonadotropin dan a-fetoprotein adalah penanda tumor yang mungkin meningkat pada pasien kanker testis. (Penanda tumor adalah substansi yang disintesis oleh sel-sel tumor dan dilepaskan ke dalam sirkulasi dalam jumlah yang abnormal).


 

Tehnik imunositokimia yang terbaru dapat membantu mengidentifikasi sel-sel yang tampaknya menghasilkan penanda ini. Kadar penanda tumor dalam darah digunakan untuk mendiagnosis, menggolongkan, dan memantau respon terhadap pengobatan. Uji diagnostic lainnya mencakup urografi intravena untuk mendeteksi segala bentuk penyimpangan uretral yang disebabkan oleh massa tumor; limfangiografi untuk mengkaji keluasan penyebaran tumor ke sistem limfatik; dan pemindai CT dada dan abdomen untuk menentukan keluasan penyakit dalam paru-paru dan retroperineum.


 

PENATALAKSANAAN

Pengobatan tergantung kepada jenis, stadium dan beratnya penyakit. Setelah kanker ditemukan, langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan jenis sel kankernya, selanjutnya ditentukan stadiumnya:

  1. Stadium I: kanker belum menyebar ke luar testis
  2. Stadium II: kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di perut
  3. Stadium III: kanker telah menyebar ke luar kelenjar getah bening, bisa sampai ke hati atau paru-paru.

Ada 4 macam pengobatan yang bisa digunakan:

  1. Pembedahan: pengangkatan testis (orkiektomi) dan pengangkatan kelenjar getah bening (limfadenektomi).
  2. Terapi penyinaran: menggunakan sinar X dosis tinggi atau sinar energi tinggi lainnya, seringkali dilakukan setelah limfadenektomi pada tumor non-seminoma.
    Juga digunakan sebagai pengobatan utama pada seminoma, terutama pada stadium awal.
  3. Kemoterapi: digunakan obat-obatan (misalnya cisplastin, bleomycin dan etoposid) untuk membunuh sel-sel kanker.
    Kemoterapi telah meningkatkan angka harapan hidup penderita tumor non-seminoma.
  4. Pencangkokan sumsum tulang: dilakukan jika kemoterapi telah menyebabkan kerusakan pada sumsum tulang penderita.

Tumor seminoma

  1. Stadium I diobati dengan orkiektomi dan penyinaran kelenjar getah bening perut
  2. Stadium II diobati dengan orkiektomi, penyinaran kelenjar getah bening dan kemoterapi dengan sisplastin
  3. Stadium III diobati dengan orkiektomi dan kemoterapi multi-obat.

Tumor non-seminoma:

  1. Stadium I diobati dengan orkiektomi dan kemungkinan dilakukan limfadenektomi perut
  2. Stadium II diobati dengan orkiektomi dan limfadenektomi perut, kemungkinan diikuti dengan kemoterapi
  3. Stadium III diobati dengan kemoterapi dan orkiektomi.

Jika kankernya merupakan kekambuhan dari kanker testis sebelumnya, diberikan kemoterapi beberapa obat (ifosfamide, cisplastin dan etoposid atau vinblastin).

Kanker testikuler adalah salah satu tumor padat yang dapat disembuhkan. Tujuan penatalaksanaan adalah untuk menyingkirkan penyakit dan mencapai penyembuhan. Pemilihan pengobatan tergantung pada tipe sel dan keluasan anatomi penyakit. Testis diangkat dengan orkhioektomi melalui suatu insisi inguinal dengan ligasi tinggi korda spermatikus.

Prosthesis yang terisi dengan jel dapat ditanamkan untuk mengisi testis yang hilang. setelah orkhioektomi unilateral untuk kanker testis, sebagian besar pasien tidak mengalami fungsi endokrin. Namun demikian, pasien lainnya mengalami penurunan kadar hormonal, yang menandakan bahwa testis yang sehat tidak berfungsi pada tingkat yang normal. Diseksi nodus limfe retroperineal (RPLND) untuk mencegah penyebaran kanker melalui jalur limfatik mungkin dilakukan setelah orkhioektomi.

Meskipun libido dan orgasme normal tidak mengalami gangguan setelah RPLND, pasien mungkin dapat mengalami disfungsi ejakulasi dengan akibat infertilitas. Menyimpan sperma di bank sperma sebelum operasi mungkin menjadi pertimbangan.

Iradiasi nodus limfe pascaoperasi dari diagfragma sampai region iliaka digunakan untuk mengatasi seminoma dan hanya diberikan pada tempat tumor saja. Testis lainnya dilindungi dari radiasi untuk menyelamatkan fertilitas. Radiasi juga digunakan untuk pasien yang tidak menunjukkan respon terhadap kemoterapi atau bagi mereka yang tidak direkomendasikan untuk dilakukan pembedahan nodus limfe.

Karsinoma testis sangat responsive terhadap terapi medikasi. Kemoterapi multiple dengan sisplantin dan preparat lainnya seperti vinblastin, bleomisin, daktinomisin, dan siklofosfamid memberikan persentase remisi yang tinggi. Hasil yang baik dapat dicapai dengan mengkombinasi tipe pengobatan yang berbeda, termasuk pembedahan, terapi radiasi, dan kemoterapi. Bahkan kanker testikuler diseminata sekalipun, prognosisnya masih baik, dan penyakit kemungkinan dapat disembuhkan karena kemajuan dalam diagnosis dan pengobatan.


 

INTERVENSI KEPERAWATAN/PENDIDIKAN PASIEN

Karena pasien mungkin mengalami kesulitan dalam menerima kondisi ini, isu-isu yang berhubungan dengan citra tubuh dan seksualitas harus diungkapkan. Pasien memerlukan dorongan untuk mempertahankan sikap yang positif selama perjalanan terapi. Pasien juga harus mengetahui bahwa terapi radiasi tidak harus selalu menghambat pasien untuk menjadi seorang ayah, dan eksisi tumor unilateral tidak harus menurunkan virilitas.

Pasien dengan riwayat satu tumor testikuler mempunyai peluang yang lebih besar untuk mengalami tumor berikutnya. Pemeriksaan tindak lanjut mencakup rontgen, urografi ekskretori, radioimmunoassay untuk human chorionic gonadotropins dan kadar a-fetoprotein, serta pemeriksaan nodus limfe untuk mendeteksi malignansi kambuhan.


 


 


 


 

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TUMOR TESTIS

Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan gangguan pertumbuhan selular dan merupakan kelompok penyakit dan bukan penyakit tunggal. Saat ini ada lebih dari 120 perbedaan tipe pengetahuan tentang kanker. Karena kanker adalah penyakit seluler, ini dapat timbul dari jaringan mana saja. Dengan manifestasi yang mengakibatkan kegagalan untuk mengontrol proliferasi dan maturasi sel.

Selama bertahun-tahun observasi dan dokumentasi, telah ditemukan bahwa perilaku metastatik dari kanker bervariasi sesuai dengan sisi primer diagnosis. Pola perilaku ini diketahui sebagai "riwayat alamiah". Pengetahuan tentang etiologi dan riwayat alamiah dari tipe kanker adalah penting pada perencanaan keperawatan pasien dan pada evaluasi kemajuan, prognosis, dan keluhan fisik pasien.


 

DATA DASAR PENGKAJIAN PASIEN

Aktivitas/istirahat

Gejala: Kelemahan dan/atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat dan jam kebiasaan tidur pada malam hari; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur, misalnya nyeri, ansietas, berkeringat malam.
Keterbatasan partisipasi dalam hobby, latihan.
Pekerjaan atau profesi dengan pemajanan karsinogen lingkungan, tingkat stress tinggi.

Sirkulasi

Gejala: Palpitasi, nyeri dada pada pengerahan kerja.
Kebiasaan: Perubahan pada tekanan darah.

Integritas ego

Gejala: Faktor stress (keuangan, pekerjaan, perubahan peran) dan cara mengatasi stress (misalnya merokok, minum alkohol, menunda mencari pengobatan, keyakinan religious/spiritual).
Masalah tentang perubahan dalam penampilan, misalnya alopesia, lesi cacat, pembedahan.
Menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, putus asa, tidak mampu, tidak bermakna, rasa bersalah, kehilangan control, depresi.
Tanda: Menyangkal, menarik diri, marah.

Eliminasi

Gejala: Perubahan pada pola defekasi, misalnya darah pada feses, nyeri pada defekasi.
Perubahan eliminasi urinarius, misalnya nyeri atau rasa terbakar pada saat berkemih, hematuri, sering berkemih.
Tanda: Perubahan pada bising usus, distensi abdomen.

Makanan/cairan

Gejala: Kebiasaan diet buruk (misalnya rendah serat, tinggi lemak, adiktif, bahan pengawet).
Anoreksia, mual/muntah.
Intoleransi makanan.
Perubahan pada berat badan; penurunan berat badan, kakeksia, berkurangnya massa otot.
Tanda: Perubahan pada kelembaban/turgor kulit; edema.

Neurosensori

Gejala: Pusing; sinkope.

Nyeri/kenyamanan

Gejala: Tidak ada nyeri, atau derajat bervariasi, misalnya ketidaknyamanan ringan sampai nyeri berat (dihubungkan dengan proses penyakit).

Pernapasan

Gejala: Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok)
Pemajanan asbes

Keamanan

Gajala: Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen.
Pemajanan matahari lama/berlebihan.
Tanda: Demam. Ruam kulit, ulserasi.

Seksualitas

Gejala: Masalah seksualitas, misalnya dampak pada hubungan, perubahan pada tingkat kepuasan.
Nuligravida lebih besar dari usia 30 tahun.
Multigravida, pasangan seks multiple, aktivitas seksual dini. Herpes genital.

Interaksi sosial

Gejala: Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung.
Riwayat perkawinan (berkenaan dengan kepuasan di rumah, dukungan, atau bantuan).
Masalah rentang fungsi/tanggung jawab peran.

Penyuluhan/pembelajaran

Gejala: Riwayat kanker pada keluarga, misalnya ibu atau bibi dengan kanker payudara.
Sisi primer: penyakit primer dalam rumah tangga ditemukan/didiagnosis.
Penyakit metastatik: sisi tambahan yang terlibat; bila tidak ada, riwayat alamiah dari primer akan memberikan informasi penting untuk mencari metastatik.


 


 


Pemeriksaan diagnostik

Tes, seleksi tergantung riwayat, manifestasi klinis, dan indeks kecurigaan untuk kanker tertentu.

  1. Scan (misalnya MRI, CT, gallium) dan ultrasound: dilakukan untuk tujuan diagnostic, identifikasi metastatik, dan evaluasi respon pada pengobatan.
  2. Biopsy (aspirasi, eksisi, jarum, melubangi): dilakukan untuk diagnostik banding dan menggambarkan pengobatan dan dapat dilakukan melalui sumsum tulang, kulit, organ, dan sebagainya.
  3. Penanda tumor (zat yang dihasilkan dan disekresi oleh sel tumor dan ditemukan dalam serum, misalnya CEA, antigen spesifik prostat, a-fetoprotein, HCG, asam fosfat prostat, kalsitonin, antigen onkofetal pancreas, CA 15-3, CA 19-9, CA 125 dan sebagainya): dapat membantu dalam mendiagnosis kanker tetapi lebih bermanfaat sebagai prognostic dan/atau monitor terapeutik.
  4. Tes kimia skrining, misalnya elektrolit (natrium, kalium, kalsium); tes ginjal (BUN/Cr); tes hepar (bilirubin, AST/SGOT alkalin fosfat, LDH); tes tulang (alkalin fosfat, kalsium)
  5. JDL dengan diferensial dan trombosit: dapat menunjukan anemia, perubahan SDM dan SDP; trombosit berkurang atau meningkat.
  6. Sinar x dada: menyelidiki penyakit paru metastatik atau primer.


Prioritas keperawatan

  1. Dukungan adaptasi dan kemandirian.
  2. Meningkatkan kenyamanan.
  3. Memeprtahankan fungsi fisiologis optimal.
  4. Mencegah komplikasi.
  5. Memberikan informasi tentang proses/kondisi penyakit, prognosis, dan kebutuhan pengobatan.


 


 

Tujuan pemulangan

  1. Pasien menerima situasi denga realistis.
  2. Nyeri hilang/terkontrol.
  3. Homeostatis dicapai.
  4. Komplikasi dicegah/dikurangi.
  5. Proses/kondisi penyakit, prognosis, pilihan terapeutik dan aturan dipahami.


 

DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

  1. Cemas/takut berhubungan dengan situasi krisis (kanker), perubahan kesehatan, sosio ekonomi, peran dan fungsi, bentuk interaksi, persiapan kematian, pemisahan dengan keluarga.
    1. Tujuan:
      1. Klien dapat mengurangi rasa cemasnya
      2. Rileks dan dapat melihat dirinya secara obyektif.
      3. Menunjukkan koping yang efektif serta mampu berpartisipasi dalam pengobatan.
    2. Intervensi Keperawatan:
      1. Tentukan pengalaman klien sebelumnya terhadap penyakit yang dideritanya.
      2. Berikan informasi tentang prognosis secara akurat.
      3. Beri kesempatan pada klien untuk mengekspresikan rasa marah, takut, konfrontasi. Beri informasi dengan emosi wajar dan ekspresi yang sesuai.
      4. Jelaskan pengobatan, tujuan dan efek samping. Bantu klien mempersiapkan diri dalam pengobatan.
      5. Catat koping yang tidak efektif seperti kurang interaksi sosial, ketidak berdayaan.
      6. Anjurkan untuk mengembangkan interaksi dengan support system.
      7. Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman.
      8. Pertahankan kontak dengan klien, bicara dan sentuhlah dengan wajar.
    3. Rasional:
      1. Data-data mengenai pengalaman klien sebelumnya akan memberikan dasar untuk penyuluhan dan menghindari adanya duplikasi.
      2. Pemberian informasi dapat membantu klien dalam memahami proses penyakitnya.
      3. Dapat menurunkan kecemasan klien.
      4. Membantu klien dalam memahami kebutuhan untuk pengobatan dan efek sampingnya.
      5. Mengetahui dan menggali pola koping klien serta mengatasinya/memberikan solusi dalam upaya meningkatkan kekuatan dalam mengatasi kecemasan.
      6. Agar klien memperoleh dukungan dari orang yang terdekat/keluarga.
      7. Memberikan kesempatan pada klien untuk berpikir/merenung/istirahat.
      8. Klien mendapatkan kepercayaan diri dan keyakinan bahwa dia benar-benar di tolong.
  2. Nyeri (akut) berhubungan dengan proses penyakit (penekanan/kerusakan jaringan syaraf, infiltrasi sistem suplay syaraf, obstruksi jalur syaraf, inflamasi), efek samping terapi kanker.
    1. Tujuan:
      1. Klien mampu mengontrol rasa nyeri melalui aktivitas
      2. Melaporkan nyeri yang dialaminya
      3. Mengikuti program pengobatan
      4. Mendemontrasikan tehnik relaksasi dan pengalihan rasa nyeri melalui aktivitas yang mungkin
    2. intervensi Keperawatan:
      1. Tentukan riwayat nyeri, lokasi, durasi dan intensitas
      2. Evaluasi therapi: pembedahan, radiasi, khemotherapi, biotherapi, ajarkan klien dan keluarga tentang cara menghadapinya
      3. Berikan pengalihan seperti reposisi dan aktivitas menyenangkan seperti mendengarkan musik atau nonton TV
      4. Menganjurkan tehnik penanganan stress (tehnik relaksasi, visualisasi, bimbingan), gembira, dan berikan sentuhan therapeutik.
      5. Evaluasi nyeri, berikan pengobatan bila perlu.
    3. Kolaboratif:
      1. Disusikan penanganan nyeri dengan dokter dan juga dengan klien.
      2. Berikan analgetik sesuai indikasi seperti morfin, methadone, narcotik dll
    4. Rasional:
      1. Memberikan informasi yang diperlukan untuk merencanakan asuhan.
      2. Untuk mengetahui terapi yang dilakukan sesuai atau tidak, atau malah menyebabkan komplikasi.
      3. Untuk meningkatkan kenyamanan dengan mengalihkan perhatian klien dari rasa nyeri.
      4. Meningkatkan kontrol diri atas efek samping dengan menurunkan stress dan ansietas.
      5. Untuk mengetahui efektifitas penanganan nyeri, tingkat nyeri dan sampai sejauhmana klien mampu menahannya serta untuk mengetahui kebutuhan klien akan obat-obatan anti nyeri.
      6. Agar terapi yang diberikan tepat sasaran.
      7. Untuk mengatasi nyeri.
  3. Gangguan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh) berhubungan dengan hipermetabolik yang berhubungan dengan kanker, konsekuensi kemotherapi, radiasi, pembedahan (anoreksia, iritasi lambung, kurangnya rasa kecap, nausea), emotional distress, fatigue, ketidakmampuan mengontrol nyeri.
    1. Tujuan:
      1. Klien menunjukkan berat badan yang stabil, hasil lab normal dan tidak ada tanda malnutrisi
      2. Menyatakan pengertiannya terhadap perlunya intake yang adekuat
      3. Berpartisipasi dalam penatalaksanaan diet yang berhubungan dengan penyakitnya
    2. Intervensi Keperawatan:
      1. Monitor intake makanan setiap hari, apakah klien makan sesuai dengan kebutuhannya.
      2. Timbang dan ukur berat badan, ukuran triceps serta amati penurunan berat badan.
      3. Kaji pucat, penyembuhan luka yang lambat dan pembesaran kelenjar parotis.
      4. Anjurkan klien untuk mengkonsumsi makanan tinggi kalori dengan intake cairan yang adekuat. Anjurkan pula makanan kecil untuk klien.
      5. Kontrol faktor lingkungan seperti bau busuk atau bising. Hindarkan makanan yang terlalu manis, berlemak dan pedas.
      6. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan misalnya makan bersama teman atau keluarga.
      7. Anjurkan tehnik relaksasi, visualisasi, latihan moderate sebelum makan.
      8. Anjurkan komunikasi terbuka tentang problem anoreksia yang dialami klien.
    3. Kolaboratif:
      1. Amati studi laboraturium seperti total limposit, serum transferin dan albumin
      2. Berikan pengobatan sesuai indikasi
        Phenotiazine, antidopaminergik, corticosteroids, vitamin khususnya A, D, E dan B6, antacida
      3. Pasang pipa nasogastrik untuk memberikan makanan secara enteral, imbangi dengan infus.
    4. Rasional:
      1. Memberikan informasi tentang status gizi klien.
      2. Memberikan informasi tentang penambahan dan penurunan berat badan klien.
      3. Menunjukkan keadaan gizi klien sangat buruk.
      4. Kalori merupakan sumber energi.
      5. Mencegah mual muntah, distensi berlebihan, dispepsia yang menyebabkan penurunan nafsu makan serta mengurangi stimulus berbahaya yang dapat meningkatkan ansietas.
      6. Agar klien merasa seperti berada dirumah sendiri.
      7. Untuk menimbulkan perasaan ingin makan/membangkitkan selera makan.
      8. Agar dapat diatasi secara bersama-sama (dengan ahli gizi, perawat dan klien).
      9. Untuk mengetahui/menegakkan terjadinya gangguan nutrisi sebagi akibat perjalanan penyakit, pengobatan dan perawatan terhadap klien.
      10. Membantu menghilangkan gejala penyakit, efek samping, meningkatkan status kesehatan klien.
      11. Mempermudah intake makanan/minuman dengan hasil yang maksimal dan sesuai kebutuhan.
  4. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi, misinterpretasi, keterbatasan kognitif.
    1. Tujuan:
      1. Klien dapat mengatakan secara akurat tentang diagnosis dan pengobatan pada tingkatan siap.
      2. Mengikuti prosedur dengan baik dan menjelaskan tentang alasan mengikuti prosedur tersebut.
      3. Mempunyai inisiatif dalam perubahan gaya hidup dan berpartisipasi dalam pengobatan.
      4. Bekerjasama dengan pemberi informasi.
    2. Intervensi Keperawatan:
      1. Review pengertian klien dan keluarga tentang diagnosa, pengobatan dan akibatnya.
      2. Tentukan persepsi klien tentang kanker dan pengobatannya, ceritakan pada klien tentang pengalaman klien lain yang menderita kanker.
      3. Beri informasi yang akurat dan faktual. Jawab pertanyaan secara spesifik, hindarkan informasi yang tidak diperlukan.
      4. Berikan bimbingan kepada klien/keluarga sebelum mengikuti prosedur pengobatan, therapy yang lama, komplikasi. Jujurlah pada klien.
      5. Anjurkan klien untuk memberikan umpan balik verbal dan mengkoreksi miskonsepsi tentang penyakitnya.
      6. Review klien /keluarga tentang pentingnya status nutrisi yang optimal.
      7. Anjurkan klien untuk mengkaji membran mukosa mulutnya secara rutin, perhatikan adanya eritema, ulcerasi.
      8. Anjurkan klien memelihara kebersihan kulit dan rambut.
    3. Rasional:
      1. Menghindari adanya duplikasi dan pengulangan terhadap pengetahuan klien.
      2. Memungkinkan dilakukan pembenaran terhadap kesalahan persepsi dan konsepsi serta kesalahan pengertian.
      3. Membantu klien dalam memahami proses penyakit.
      4. Membantu klien dan keluarga dalam membuat keputusan pengobatan.
      5. Mengetahui sampai sejauhmana pemahaman klien dan keluarga mengenai penyakit klien.
      6. Meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga mengenai nutrisi yang adekuat.
      7. Mengkaji perkembangan proses-proses penyembuhan dan tanda-tanda infeksi serta masalah dengan kesehatan mulut yang dapat mempengaruhi intake makanan dan minuman.
      8. Meningkatkan integritas kulit dan kepala.
  5. Resiko tinggi kerusakan membran mukosa mulut berhubungan dengan efek samping kemoterapi dan radiasi/radiotherapi.
    1. Tujuan:
      1. Membran mukosa tidak menunjukkan kerusakan, terbebas dari inflamasi dan ulcerasi
      2. Klien mengungkapkan faktor penyebab secara verbal.
      3. Klien mampu mendemontrasikan tehnik mempertahankan/menjaga kebersihan rongga mulut.
    2. Intervensi Keperawatan:
      1. Kaji kesehatan gigi dan mulut pada saat pertemuan dengan klien dan secara periodik.
      2. Kaji rongga mulut setiap hari, amati perubahan mukosa membran. Amati tanda terbakar di mulut, perubahan suara, rasa kecap, kekentalan ludah.
      3. Diskusikan dengan klien tentang metode pemeliharan oral hygiene.
      4. Intruksikan perubahan pola diet misalnya hindari makanan panas, pedas, asam, makanan keras.
      5. Amati dan jelaskan pada klien tentang tanda superinfeksi oral.
    3. Kolaboratif:
      1. Konsultasi dengan dokter gigi sebelum kemotherapi
      2. Berikan obat sesuai indikasi, analgetik, topikal lidocaine, antimikrobial mouthwash preparation.
      3. Kultur lesi oral.
    4. Rasional:
      1. Mengkaji perkembangan proses penyembuhan dan tanda-tanda infeksi memberikan informasi penting untuk mengembangkan rencana keperawatan.
      2. Masalah dengan kesehatan mulut dapat mempengaruhi pemasukan makanan dan minuman.
      3. Mencari alternatif lain mengenai pemeliharaan mulut dan gigi.
      4. Mencegah rasa tidak nyaman dan iritasi lanjut pada membran mukosa.
      5. Agar klien mengetahui dan segera memberitahu bila ada tanda-tanda tersebut.
      6. Meningkatkan kebersihan dan kesehatan gigi dan gusi.
      7. Tindakan/terapi yang dapat menghilangkan nyeri, menangani infeksi dalam rongga mulut/infeksi sistemik.
      8. Untuk mengetahui jenis kuman sehingga dapat diberikan terapi antibiotik yang tepat.
  6. Resiko tinggi kurangnya volume cairan berhubungan dengan output yang tidak normal (vomiting, diare), hipermetabolik, kurangnya intake.
    1. Tujuan:
      1. Klien menunjukkan keseimbangan cairan dengan tanda vital normal, membran mukosa normal, turgor kulit bagus, capilary refill normal, urine output normal.
    2. Intervensi Keperawatan:
      1. Monitor intake dan output termasuk keluaran yang tidak normal seperti emesis, diare, drainase luka. Hitung keseimbangan selama 24 jam.
      2. Timbang berat badan jika diperlukan.
      3. Monitor vital sign. Evaluasi pulse peripheral, capilary refill.
      4. Kaji turgor kulit dan keadaan membran mukosa. Catat keadaan kehausan pada klien.
      5. Anjurkan intake cairan samapi 3000 ml per hari sesuai kebutuhan individu.
      6. Observasi kemungkinan perdarahan seperti perlukaan pada membran mukosa, luka bedah, adanya ekimosis dan petekie.
      7. Hindarkan trauma dan tekanan yang berlebihan pada luka bedah.
    3. Kolaboratif:
      1. Berikan cairan IV bila diperlukan.
      2. Berikan therapy antiemetik.
      3. Monitor hasil laboratorium: Hb, elektrolit, albumin.
    4. Rasional:
      1. Pemasukan oral yang tidak adekuat dapat menyebabkan hipovolemia.
      2. Dengan memonitor berat badan dapat diketahui bila ada ketidakseimbangan cairan.
      3. Tanda-tanda hipovolemia segera diketahui dengan adanya takikardi, hipotensi dan suhu tubuh yang meningkat berhubungan dengan dehidrasi.
      4. Dengan mengetahui tanda-tanda dehidrasi dapat mencegah terjadinya hipovolemia.
      5. Memenuhi kebutuhan cairan yang kurang.
      6. Segera diketahui adanya perubahan keseimbangan volume cairan.
      7. Mencegah terjadinya perdarahan.
      8. Memenuhi kebutuhan cairan yang kurang.
      9. Mencegah/menghilangkan mual muntah.
      10. Mengetahui perubahan yang terjadi.
  7. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh sekunder dan sistem imun (efek kemotherapi/radiasi), malnutrisi, prosedur invasif.
    1. Tujuan:
      1. Klien mampu mengidentifikasi dan berpartisipasi dalam tindakan pencegahan infeksi.
      2. Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi dan penyembuhan luka berlangsung normal.
    2. Intervensi Keperawatan:
      1. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan. Batasi pengunjung.
      2. Jaga personal hygine klien dengan baik.
      3. Monitor temperatur.
      4. Kaji semua sistem untuk melihat tanda-tanda infeksi.
      5. Hindarkan/batasi prosedur invasif dan jaga aseptik prosedur.
    3. Kolaboratif:
      1. Monitor CBC, WBC, granulosit, platelets.
      2. Berikan antibiotik bila diindikasikan.
    4. Rasional:
      1. Mencegah terjadinya infeksi silang.
      2. Menurunkan/mengurangi adanya organisme hidup.
      3. Peningkatan suhu merupakan tanda terjadinya infeksi.
      4. Mencegah/mengurangi terjadinya resiko infeksi.
      5. Mencegah terjadinya infeksi.
      6. Segera dapat diketahui apabila terjadi infeksi.
      7. Adanya indikasi yang jelas sehingga antibiotik yang diberikan dapat mengatasi organisme penyebab infeksi.
  8. Resiko tinggi gangguan fungsi seksual berhubungan dengan defisit pengetahuan/keterampilan tentang alternatif respon terhadap transisi kesehatan, penurunan fungsi/struktur tubuh, dampak pengobatan.
    1. Tujuan:
      1. Klien dapat mengungkapkan pengertiannya terhadap efek kanker dan terapi terhadap seksualitas
      2. Mempertahankan aktivitas seksual dalam batas kemampuan
    2. Intervensi:
      1. Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang proses seksualitas dan reaksi serta hubungannya dengan penyakitnya.
      2. Berikan advis tentang akibat pengobatan terhadap seksualitasnya.
      3. Berikan privacy kepada klien dan pasangannya. Ketuk pintu sebelum masuk.
    3. Rasional:
      1. Meningkatkan ekspresi seksual dan meningkatkan komunikasi terbuka antara klien dengan pasangannya.
      2. Membantu klien dalam mengatasi masalah seksual yang dihadapinya.
      3. Memberikan kesempatan bagi klien dan pasangannya untuk mengekspresikan perasaan dan keinginan secara wajar.
  9. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek radiasi dan kemotherapi, defisit imunologik, penurunan intake nutrisi dan anemia.
    1. Tujuan:
      1. Klien dapat mengidentifikasi intervensi yang berhubungan dengan kondisi spesifik
      2. Berpartisipasi dalam pencegahan komplikasi dan percepatan penyembuhan
    2. Intervensi Keperawatan:
      1. Kaji integritas kulit untuk melihat adanya efek samping therapi kanker, amati penyembuhan luka.
      2. Anjurkan klien untuk tidak menggaruk bagian yang gatal.
      3. Ubah posisi klien secara teratur.
      4. Berikan advise pada klien untuk menghindari pemakaian cream kulit, minyak, bedak tanpa rekomendasi dokter.
    3. Rasional:
      1. Memberikan informasi untuk perencanaan asuhan dan mengembangkan identifikasi awal terhadap perubahan integritas kulit.
      2. Menghindari perlukaan yang dapat menimbulkan infeksi.
      3. Menghindari penekanan yang terus menerus pada suatu daerah tertentu.
      4. Mencegah trauma berlanjut pada kulit dan produk yang kontra indikatif.


 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Basuki B Purnomo, Dasar-dasar Urologi.Edisi kedua, cetakan ketiga, CV. Sagung Seto: Jakarta 2007.
  2. Carpenito Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta, 2001.
  3. Danielle Gale & Jane Charette, Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta, 2000.
  4. Doenges E. Marilynn, Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta, 1999.
  5. Gallo & Hudak, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Edisi VI, Volume II, Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta, 1996.
  6. Long Barbara C. Perawatan Medikal Bedah. Alih Bahasa: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran Bandung, Edisi 1, Yayasan IAPK Pajajaran, Bandung, 1996
  7. Price A. Sylvia & Wilson M. Lorraine, Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit, Edisi 4, Buku II, Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta, 1995.
  8. Robbins Stanley L, Buku Saku
    Dasar Patologi Penyakit, Edisi 5, Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta, 1996.
  9. Suzanne. C. Smeltzer & Brenda.G.Bare. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, volume 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2001.

Kamis, November 04, 2010

ASKEP INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)


A. Pengertian
Infeksi Saluran Kemih (ISK) atau Urinarius Tractus Infection (UTI) adalah suatu keadaan adanya infasi mikroorganisme pada saluran kemih.
(Agus Tessy, 2001)
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu keadaan adanya infeksi bakteri pada saluran kemih. (Enggram, Barbara, 1998)

B. Klasifikasi
Jenis Infeksi Saluran Kemih, antara lain:
1. Kandung kemih (sistitis)
2. uretra (uretritis)
3. prostat (prostatitis)
4. ginjal (pielonefritis)
Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut, dibedakan menjadi:
1. ISK uncomplicated (simple)
ISK sederhana yang terjadi pada penderita dengan saluran kencing tak baik, anatomic maupun fungsional normal. ISK ini pada usi lanjut terutama mengenai penderita wanita dan infeksi hanya mengenai mukosa superficial kandung kemih.
2. ISK complicated
Sering menimbulkan banyak masalah karena sering kali kuman penyebab sulit diberantas, kuman penyebab sering resisten terhadap beberapa macam antibiotika, sering terjadi bakterimia, sepsis dan shock. ISK ini terjadi bila terdapat keadaan-keadaan sebagi berikut:
a. Kelainan abnormal saluran kencing, misalnya batu, reflex vesiko uretral obstruksi, atoni kandung kemih, paraplegia, kateter kandung kencing menetap dan prostatitis.
b. Kelainan faal ginjal: GGA maupun GGK.
c. Gangguan daya tahan tubuh
d. Infeksi yang disebabkan karena organisme virulen sperti prosteus spp yang memproduksi urease.

C. Etiologi
1. Jenis-jenis mikroorganisme yang menyebabkan ISK, antara lain:
a. Escherichia Coli: 90 % penyebab ISK uncomplicated (simple)
b. Pseudomonas, Proteus, Klebsiella : penyebab ISK complicated
c. Enterobacter, staphylococcus epidemidis, enterococci, dan-lain-lain.
2. Prevalensi penyebab ISK pada usia lanjut, antara lain:
a. Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung kemih yang kurang efektif
b. Mobilitas menurun
c. Nutrisi yang sering kurang baik
d. Sistem imunitas menurun, baik seluler maupun humoral
e. Adanya hambatan pada aliran urin
f. Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat

D. Patofisiologi
Infeksi Saluran Kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik dalam traktus urinarius. Mikroorganisme ini masuk melalui : kontak langsung dari tempat infeksi terdekat, hematogen, limfogen. Ada dua jalur utama terjadinya ISK, asending dan hematogen. Secara asending yaitu:
- masuknya mikroorganisme dalm kandung kemih, antara lain: factor anatomi dimana pada wanita memiliki uretra yang lebih pendek daripada laki-laki sehingga insiden terjadinya ISK lebih tinggi, factor tekanan urine saat miksi, kontaminasi fekal, pemasangan alat ke dalam traktus urinarius (pemeriksaan sistoskopik, pemakaian kateter), adanya dekubitus yang terinfeksi.
Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal-

Secara hematogen yaitu: sering terjadi pada pasien yang system imunnya rendah sehingga mempermudah penyebaran infeksi secara hematogen Ada beberapa hal yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal sehingga mempermudah penyebaran hematogen, yaitu: adanya bendungan total urine yang mengakibatkan distensi kandung kemih, bendungan intrarenal akibat jaringan parut, dan lain-lain.
Pada usia lanjut terjadinya ISK ini sering disebabkan karena adanya:
Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap atau kurang efektif.-
Mobilitas menurun-
Nutrisi yang sering kurang baik-
System imunnitas yng menurun-
Adanya hambatan pada saluran urin-
Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat.-
Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat tersebut mengakibatkan distensii yang berlebihan sehingga menimbulkan nyeri, keadaan ini mengakibatkan penurunan resistensi terhadap invasi bakteri dan residu kemih menjadi media pertumbuhan bakteri yang selanjutnya akan mengakibatkan gangguan fungsi ginjal sendiri, kemudian keadaan ini secara hematogen menyebar ke suluruh traktus urinarius. Selain itu, beberapa hal yang menjadi predisposisi ISK, antara lain: adanya obstruksi aliran kemih proksimal yang menakibtakan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter yang disebut sebagai hidronefroses. Penyebab umum obstruksi adalah: jaringan parut ginjal, batu, neoplasma dan hipertrofi prostate yang sering ditemukan pada laki-laki diatas usia 60 tahun.

Pathway : terlampir






E. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala ISK pada bagian bawah (sistitis):
Nyeri yang sering dan rasa panas ketika berkemih-
Spasame pada area kandung kemih dan suprapubis-
Hematuria-
Nyeri punggung dapat terjadi-
Tanda dan gejala ISK bagian atas (pielonefritis)
Demam-
Menggigil-
Nyeri panggul dan pinggang-
Nyeri ketika berkemih-
Malaise-
Pusing-
Mual dan muntah-

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis
- Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK. Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sediment air kemih
Hematuria: hematuria positif- bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis.
2. Bakteriologis
Mikroskopis-
Biakan bakteri-
3. Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik
4. Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari urin tampung aliran tengah atau dari specimen dalam kateter dianggap sebagai criteria utama adanya infeksi.
5. Metode tes
- Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes Griess untuk pengurangan nitrat). Tes esterase lekosit positif: maka psien mengalami piuria. Tes pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit.
Tes Penyakit Menular Seksual (PMS):-
Uretritia akut akibat organisme menular secara seksual (misal, klamidia trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes simplek).
Tes- tes tambahan:-
Urogram intravena (IVU). Pielografi (IVP), msistografi, dan ultrasonografi juga dapat dilakukan untuk menentukan apakah infeksi akibat dari abnormalitas traktus urinarius, adanya batu, massa renal atau abses, hodronerosis atau hiperplasie prostate. Urogram IV atau evaluasi ultrasonic, sistoskopi dan prosedur urodinamik dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab kambuhnya infeksi yang resisten.

G. Penatalaksanaan
Penanganan Infeksi Saluran Kemih (ISK) yang ideal adalah agens antibacterial yang secara efektif menghilangkan bakteri dari traktus urinarius dengan efek minimal terhaap flora fekal dan vagina.
Terapi Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut dapat dibedakan atas:
Terapi antibiotika dosis tunggal-
Terapi antibiotika konvensional: 5-14 hari-
Terapi antibiotika jangka lama: 4-6 minggu-
Terapi dosis- rendah untuk supresi
Pemakaian antimicrobial jangka panjang menurunkan resiko kekambuhan infeksi. Jika kekambuhan disebabkan oleh bakteri persisten di awal infeksi, factor kausatif (mis: batu, abses), jika muncul salah satu, harus segera ditangani. Setelah penanganan dan sterilisasi urin, terapi preventif dosis rendah.
Penggunaan medikasi yang umum mencakup: sulfisoxazole (gastrisin), trimethoprim/sulfamethoxazole (TMP/SMZ, bactrim, septra), kadang ampicillin atau amoksisilin digunakan, tetapi E. Coli telah resisten terhadap bakteri ini. Pyridium, suatu analgesic urinarius jug adapt digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat infeksi.
Pemakaian obat pada usia lanjut perlu dipikirkan kemungkina adanya:
Gangguan absorbsi dalam alat pencernaan-
Interansi obat-
Efek samping obat-
Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui ginjal-
Resiko pemberian obat pada usia lanjut dalam kaitannya dengan faal ginjal:
1. Efek nefrotosik obat
2. Efek toksisitas obat
Pemakaian obat pada usia lanjut hendaknya setiasp saat dievalusi keefektifannya dan hendaknya selalu menjawab pertanyaan sebagai berikut:
Apakah obat-obat yang diberikan benar-benar berguna/diperlukan/-
Apakah obat yang diberikan menyebabkan keadaan lebih baik atau malh membahnayakan/-
Apakah obat yang diberikan masih tetap diberikan?-
Dapatkah sebagian obat dikuranngi dosisnya atau dihentikan?-

H. Pengkajian
1. Pemerikasaan fisik: dilakukan secara head to toe dan system tubuh
2. Riwayat atau adanya faktor-faktor resiko:
Adakah riwayat infeksi sebelumnya?-
Adakah obstruksi pada saluran kemih?-
3. Adanya factor yang menjadi predisposisi pasien terhadap infeksi nosokomial.
Bagaimana dengan pemasangan kateter foley?-
Imobilisasi dalam waktu yang lama.-
Apakah terjadi inkontinensia urine?-
4. Pengkajian dari manifestasi klinik infeksi saluran kemih
Bagaimana pola berkemih pasien? untuk mendeteksi factor predisposisi terjadinya ISK pasien (dorongan, frekuensi, dan jumlah)-

Adakah disuria?-
Adakah urgensi?-
Adakah hesitancy?-
Adakah bau urine yang menyengat?-
Bagaimana haluaran volume orine, warna (keabu-abuan) dan konsentrasi urine?-
Adakah nyeri-biasanya suprapubik pada infeksi saluran kemih bagian bawah-
Adakah nyesi pangggul atau pinggang-biasanya pada infeksi saluran kemih bagian atas-
Peningkatan suhu tubuh biasanya pada infeksi saluran kemih bagian atas.-
5. Pengkajian psikologi pasien:
- Bagaimana perasaan pasien terhadap hasil tindakan dan pengobatan yang telah dilakukan? Adakakan perasaan malu atau takut kekambuhan terhadap penyakitnya.

I. Diagnosa Keperawatan Yang Timbul
1. Nyeri dan ketidaknyamanan berhubungan dengan inflamasi dan infeksi uretra, kandung kemih dan sruktur traktus urinarius lain.
2. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan obstruksi mekanik pada kandung kemih ataupun struktur traktus urinarius lain.
3. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

J. Intervensi Keperawatan
1. Dx 1 :
Nyeri dan ketidaknyamanan berhubungan dengan inflamasi dan infeksi uretra, kandung kemih dan struktur traktus urinarius lain.
Kriteria evaluasi:
Tidak nyeri waktu berkemih, tidak nyeri pada perkusi panggul
Intervensi:
a. Pantau haluaran urine terhadap perubahan warna, baud an pola berkemih, masukan dan haluaran setiap 8 jam dan pantau hasil urinalisis ulang
Rasional: untuk mengidentifikasi indikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan
b. Catat lokasi, lamanya intensitas skala (1-10) penyebaran nyeri.
Rasional: membantu mengevaluasi tempat obstruksi dan penyebab nyeri
c. Berikan tindakan nyaman, seprti pijatan punggung, lingkungan istirahat;
Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot.
d. Bantu atau dorong penggunaan nafas berfokus
Relaksasi: membantu mengarahkan kembali perhatian dan untuk relaksasi otot.
e. Berikan perawatan perineal
Rasional: untuk mencegah kontaminasi uretra
f. Jika dipaang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2 nkali per hari.
Rasional: Kateter memberikan jalan bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan.
g. Kolaborasi:
- Konsul dokter bila: sebelumnya kuning gading-urine kuning, jingga gelap, berkabut atau keruh. Pla berkemih berubah, sring berkemih dengan jumlah sedikit, perasaan ingin kencing, menetes setelah berkemih. Nyeri menetap atau bertambah sakit
Rasional: Temuan- temuan ini dapat memeberi tanda kerusakan jaringan lanjut dan perlu pemeriksaan luas
Berikan analgesic sesuia kebutuhan dan evaluasi keberhasilannya-
Rasional: analgesic memblok lintasan nyeri sehingga mengurangi nyeri
h. Berikan antibiotic. Buat berbagai variasi sediaan minum, termasuk air segar . Pemberian air sampai 2400 ml/hari
Rasional: akibta dari haluaran urin memudahkan berkemih sering dan membentu membilas saluran berkemih

2. Dx 2:
Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan obstruksi mekanik pada kandung kemih ataupun struktur traktus urinarius lain.
Kriteria Evaluasi:
Pola eliminasi membaik, tidak terjadi tanda-tanda gangguan berkemih (urgensi, oliguri, disuria)
Intervensi:
a. Awasi pemasukan dan pengeluaran karakteristi urin
Rasional: memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi
b. Tentukan pola berkemih pasien
c. Dorong meningkatkan pemasukan cairan
Rasional: peningkatan hidrasi membilas bakteri.
d. Kaji keluhan kandung kemih penuh
Rasional: retensi urin dapat terjadi menyebabkan distensi jaringan(kandung kemih/ginjal)
e. Observasi perubahan status mental:, perilaku atau tingkat kesadaran
Rasional: akumulasi sisa uremik dan ketidakseimbangan elektrolit dapat menjadi toksik pada susunan saraf pusat
f. Kecuali dikontraindikasikan: ubah posisi pasien setiap dua jam
Rasional: untuk mencegah statis urin
g. Kolaborasi:
Awasi pemeriksaan laboratorium; elektrolit, BUN, kreatinin-
Rasional: pengawasan terhadap disfungsi ginjal
- Lakukan tindakan untuk memelihara asam urin: tingkatkan masukan sari buah berri dan berikan obat-obat untuk meningkatkan aam urin.
Rasional: aam urin menghalangi tumbuhnya kuman. Peningkatan masukan sari buah dapt berpengaruh dalm pengobatan infeksi saluran kemih.

3. Dx 3:
Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
Kriteria Evaluasi: menyatakna mengerti tentang kondisi, pemeriksaan diagnostic, rencana pengobatan, dan tindakan perawatan diri preventif.
Intervensi:
a. Kaji ulang prose pemyakit dan harapan yang akan datanng
Rasional: memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan beradasarkan informasi.
b. Berikan informasi tentang: sumber infeksi, tindakan untuk mencegah penyebaran, jelaskna pemberian antibiotic, pemeriksaan diagnostic: tujuan, gambaran singkat, persiapan ynag dibutuhkan sebelum pemeriksaan, perawatan sesudah pemeriksaan.
Rasional: pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan m,embantu mengembankan kepatuhan klien terhadap rencan terapetik.
c. Pastikan pasien atau orang terdekat telah menulis perjanjian untuk perawatan lanjut dan instruksi tertulis untuk perawatn sesudah pemeriksaan
Rasional: instruksi verbal dapat dengan mudah dilupakan
d. Instruksikan pasien untuk menggunakan obat yang diberikan, inum sebanyak kurang lebih delapan gelas per hari khususnya sari buah berri.
Rasional: Pasien sering menghentikan obat mereka, jika tanda-tanda penyakit mereda. Cairan menolong membilas ginjal. Asam piruvat dari sari buah berri membantu mempertahankan keadaan asam urin dan mencegah pertumbuhan bakteri
e. Berikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaan dan masalah tentang rencana pengobatan.
Rasional: Untuk mendeteksi isyarat indikatif kemungkinan ketidakpatuhan dan membantu mengembangkan penerimaan rencana terapeutik.












DAFTAR PUSTAKA


Doenges, Marilyn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Alih Bahasa: I Made Kariasa, Ni made Sumarwati. Edisi: 3. Jakrta: EGC.

Enggram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan
Nugroho, Wahyudi. (2000). Keperawatan Gerontik. Edisi: 2. Jakarta: EGC.

Parsudi, Imam A. (1999). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: FKUI

Price, Sylvia Andrson. (1995). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit: pathophysiologi clinical concept of disease processes. Alih Bahasa: Peter Anugrah. Edisi: 4. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddart. Alih Bhasa: Agung Waluyo. Edisi: 8. Jakarta: EGC.

Tessy Agus, Ardaya, Suwanto. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Infeksi Saluran Kemih. Edisi: 3. Jakarta: FKUI.

ASUHAN KEPERAWATAN BATU GINJAL

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Batu ginjal merupakan batu saluran kemih (urolithiasis), sudah dikenal sejak zaman Babilonia dan Mesir kuno dengan diketemukannya batu pada kandung kemih mummi. Batu saluran kemih dapat diketemukan sepanjang saluran kemih mulai dari sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, buli-buli dan uretra. Batu ini mungkin terbentuk di di ginjal kemudian turun ke saluran kemih bagian bawah atau memang terbentuk di saluran kemih bagian bawah karena adanya stasis urine seperti pada batu buli-buli karena hiperplasia prostat atau batu uretra yang terbentu di dalam divertikel uretra.

Penyakit batu saluran kemih menyebar di seluruh dunia dengan perbedaan di negara berkembang banyak ditemukan batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai batu saluran kemih bagian atas (gunjal dan ureter), perbedaan ini dipengaruhi status gizi dan mobilitas aktivitas sehari-hari. Angka prevalensi rata-rata di seluruh dunia adalah 1-12 % penduduk menderita batu saluran kemih.

Penyebab terbentuknya batu saluran kemih diduga berhubungan dengan gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik).

1.2 Permasalahan

Adapun permasalahan yang kelompok kami angkat dalam makalah ini adalah:

1). Apakah yang dimaksud dengan Urinary calculi (Batu Ginjal)?

2).   Bagaimanakah etiologi dari Urinary calculi (Batu Ginjal)?

3).   Bagaimanakah manifestasi klinis dari Urinary calculi (Batu Ginjal)?

4).   Bagaimanakah patofisiologi Urinary calculi (Batu Ginjal)?

5).   Bagaimana komplikasi dari Urinary calculi (Batu Ginjal)?

6).   Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Pasien Urinary calculi (Batu Ginjal)?

1.3 Tujuan

1). Memahami pengertian, penyebab, jenis, serta tanda dan gejala yang muncul pada penyakit Urinary calculi (Batu Ginjal).

2). Menggunakan proses keperawatan sebagai kerangka kerja untuk perawatan pasien penderita Urinary calculi (Batu Ginjal).

3). Menguraikan prosedur perawatan yang digunakan untuk pasian penderita Urinary calculi (Batu Ginjal).

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Urinary Calculy (Batu Ginjal)

Batu di dalam saluran kemih (Urinary Calculi) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih).  Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis renalis, nefrolitiasis).

2.2 Etiologi Urinary Calculy (Batu Ginjal)

Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih yang dibedakan sebagai faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik yaitu:

1). Faktor intrinsik, meliputi:

Herediter; diduga dapat diturunkan dari generasi ke generasi.

Umur; paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun.

Jenis kelamin; jumlah pasien pria 3 kali lebih banyak dibanding pasien wanita.

2). Faktor ekstrinsik, meliputi:

Geografi; pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu).

Iklim dan temperatur.

Asupan air; kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.

Diet; diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya batu saluran kemih.

Pekerjaan; penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau kurang aktivitas fisik (sedentary life).

Ada beberapa teori tentang terbentuknya Batu saluran kemih adalah:

1). Teori nukleasi: Batu terbentuk di dalam urine karena adanya inti batu atau sabuk batu (nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan kelewat jenuh akan mengendap di dalam nukleus itu sehingga akhirnya membentuk batu. Inti bantu dapat berupa kristal atau benda asing saluran kemih.

2). Teori matriks: Matriks organik terdiri atas serum/protein urine (albumin, globulin dan mukoprotein) sebagai kerangka tempat mengendapnya kristal-kristal batu.

3). Penghambat kristalisasi: Urine orang normal mengandung zat penghambat pembentuk kristal yakni magnesium, sitrat, pirofosfat, mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat ini berkurang akan memudahkan terbentuknya batu dalam saluran kemih.

2.3 Patofisiologi Urinary Calculy (Batu Ginjal)

Batu saluran kemih dapat menimbulkan penyulit berupa obstruksi dan infeksi saluran kemih. Manifestasi obstruksi pada saluran kemih bagian bawah adalah retensi urine atau keluhan miksi yang lain sedangkan pada batu saluran kemih bagian atas dapat menyebabkan hidroureter atau hidrinefrosis. Batu yang dibiarkan di dalam saluran kemih dapat menimbulkan infeksi, abses ginjal, pionefrosis, urosepsis dan kerusakan ginjal permanen (gagal ginjal)

Infeksi è Pielonefritis è Ureritis è Sintitisè Hidronefrosis è Hidroureter è Pionefrosis è Urosepsis

2.4 Jenis- jenis Batu Ginjal

Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur: kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP), xanthyn dan sistin. Pengetahuan tentang komposisi batu yang ditemukan penting dalam usaha pencegahan kemungkinan timbulnya batu residif.

1). Batu Kalsium

Batu kalsium (kalsium oksalat dan atau kalsium fosfat) paling banyak ditemukan yaitu sekitar 75-80% dari seluh batu saluran kemih. Faktor tejadinya batu kalsium adalah:

Hiperkasiuria: Kadar kasium urine lebih dari 250-300 mg/24 jam, dapat terjadi karena peningkatan absorbsi kalsium pada usus (hiperkalsiuria absorbtif), gangguan kemampuan reabsorbsi kalsium pada tubulus ginjal (hiperkalsiuria renal) dan adanya peningkatan resorpsi tulang (hiperkalsiuria resoptif) seperti pada hiperparatiridisme primer atau tumor paratiroid.

Hiperoksaluria: Ekskresi oksalat urien melebihi 45 gram/24 jam, banyak dijumpai pada pasien pasca pembedahan usus dan kadar konsumsi makanan kaya oksalat seperti the, kopi instan, soft drink, kakao, arbei, jeruk sitrun dan sayuran hijau terutama bayam.

Hiperurikosuria: Kadar asam urat urine melebihi 850 mg/24 jam. Asam urat dalam urine dapat bertindak sebagai inti batu yang mempermudah terbentuknya batu kalsium oksalat. Asam urat dalam urine dapat bersumber dari konsumsi makanan kaya purin atau berasal dari metabolisme endogen.

Hipositraturia: Dalam urine, sitrat bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium sitrat sehingga menghalangi ikatan kalsium dengan oksalat atau fosfat. Keadaan hipositraturia dapat terjadi pada penyakit asidosis tubuli ginjal, sindrom malabsorbsi atau pemakaian diuretik golongan thiazide dalam jangka waktu lama.

Hipomagnesiuria: Seperti halnya dengan sitrat, magnesium bertindak sebagai penghambat timbulnya batu kalsium karena dalam urine magnesium akan bereaksi dengan oksalat menjadi magnesium oksalat sehingga mencegah ikatan dengan kalsium ddengan oksalat.

2). Batu Struvit

Batu struvit disebut juga batu sebagai batu infeksi karena terbentuknya batu ini dipicu oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi ini adalah golongan pemecah urea (uera splitter seperti: Proteus spp., Klebsiella, Serratia, Enterobakter, Pseudomonas dan Stafilokokus) yang dapat menghasilkan enzim urease dan mengubah urine menjadi basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak. Suasana basa ini memudahkan garam-garam magnesium, amonium, fosfat dan karbonat membentuk batu magnesium amonium fosfat (MAP) dan karbonat apatit.

3). Batu Urat

Batu asam urat meliputi 5-10% dari seluruh batu saluran kemih, banyak dialami oleh penderita gout, penyakit mieloproliferatif, pasein dengan obat sitostatika dan urikosurik (sulfinpirazone, thiazide dan salisilat). Kegemukan, alkoholik dan diet tinggi protein mempunyai peluang besar untuk mengalami penyakit ini. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya batu asam urat adalah: urine terlalu asam (pH < 6, volume urine < 2 liter/hari atau dehidrasi dan hiperurikosuria.

2.5 Gambaran Klinik dan Diagnosis

Keluhan yang disampaikan pasien tergantung pada letak batu, besar batu dan penyulit yang telah terjadi. Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan nyeri ketok di daerah kosto-vertebra, teraba ginjal pada sisi yang sakit akibat hidronefrosis, ditemukan tanda-tanda gagal ginjal, retensi urine dan jika disertai infeksi didapatkan demam/menggigil.

Pemeriksaan sedimen urine menunjukan adanya lekosit, hematuria dan dijumpai kristal-kristal pembentuk batu. Pemeriksaan kultur urine mungkin menunjukkan adanya adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.

Pemeriksaan faal ginjal bertujuan mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal dan untuk mempersipkan pasien menjalani pemeriksaan foto PIV. Perlu juga diperiksa kadar elektrolit yang diduga sebagai penyebab timbulnya batu salran kemih (kadar kalsium, oksalat, fosfat maupun urat dalam darah dan urine).

Pembuatan foto polos abdomen bertujuan melihat kemungkinan adanya batu radio-opak dan paling sering dijumpai di atara jenis batu lain. Batu asam urat bersifat non opak (radio-lusen).

Pemeriksaan pieolografi intra vena (PIV) bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi opak atau batu non opak yang tidak tampak pada foto polos abdomen.

Ultrasongrafi dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV seperti pada keadaan alergi zat kontras, faal ginjal menurun dan pada pregnansi. Pemeriksaan ini dapat menilai adanya batu di ginjal atau buli-buli (tampak sebagai echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis atau pengkerutan ginjal.

2.6 Gejala Urinary Calculy (Batu Ginjal)

Batu, terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala.  Batu di dalam kandung kemih bisa menyebabkan nyeri di perut bagian bawah. Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis bisa menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat). Kolik renalis ditandai dengan nyeri hebat yang hilang-timbul, biasanya di daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggang, yang menjalar ke perut, daerah kemaluan dan paha sebelah dalam.

Gejala lainnya adalah mual dan muntah, perut menggelembung, demam, menggigil dan darah di dalam air kemih. Penderita mungkin menjadi sering berkemih, terutama ketika batu melewati ureter.

Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat aliran kemih, bakteri akan terperangkap di dalam air kemih yang terkumpul diatas penyumbatan, sehingga terjadilah infeksi. Jika penyumbatan ini berlangsung lama, air kemih akan mengalir balik ke saluran di dalam ginjal, menyebabkan penekanan yang akan menggelembungkan ginjal (hidronefrosis) dan pada akhirnya bisa terjadi kerusakan ginjal.

2.7 Asuhan Keperawatan

1). Pengkajian

Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik: berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah:

Aktivitas/istirahat:

Gejala    :  Riwayat pekerjaan monoton, aktivitas fisik rendah, lebih banyak duduk

Riwayat bekerja pada lingkungan bersuhu tinggi

Keterbatasan mobilitas fisik akibat penyakit sistemik lainnya (cedera serebrovaskuler, tirah baring lama)

Sirkulasi

Tanda    :  Peningkatan TD, HR (nyeri, ansietas, gagal ginjal)

Kulit hangat dan kemerahan atau pucat

Eliminasi

Gejala    :  Riwayat ISK kronis, obstruksi sebelumnya

Penurunan volume urine

Rasa terbakar, dorongan berkemih

Diare

Tanda    :  Oliguria, hematuria, piouria

Perubahan pola berkemih

Makanan dan cairan:

Gejala    :  Mual/muntah, nyeri tekan abdomen

Riwayat diet tinggi purin, kalsium oksalat dan atau fosfat

Hidrasi yang tidak adekuat, tidak minum air dengan cukup

Tanda    :  Distensi abdomen, penurunan/tidak ada bising usus

Muntah

Nyeri dan kenyamanan:

Gejala    :  Nyeri hebat pada fase akut (nyeri kolik), lokasi nyeri tergantung lokasi batu (batu ginjal menimbulkan nyeri dangkal konstan)

Tanda    :  Perilaku berhati-hati, perilaku distraksi

Nyeri tekan pada area ginjal yang sakit

Keamanan:

Gejala    :  Penggunaan alkohol

Demam/menggigil

Penyuluhan/pembelajaran:

Gejala    :  Riwayat batu saluran kemih dalam keluarga, penyakit ginjal, hipertensi, gout, ISK kronis

Riwayat penyakit usus halus, bedah abdomen sebelumnya, hiperparatiroidisme

Penggunaan antibiotika, antihipertensi, natrium bikarbonat, alopurinul, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium atau vitamin.

2). Diagnosa Keperawatan

Nyeri (akut) b/d peningkatan frekuensi kontraksi ureteral, taruma jaringan, edema dan iskemia seluler.

Perubahan eliminasi urine b/d stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal dan ureter, obstruksi mekanik dan peradangan.

Kekurangan volume cairan (resiko tinggi) b/d mual/muntah (iritasi saraf abdominal dan pelvis ginjal atau kolik ureter, diuresis pasca obstruksi.

Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.

3). Intervensi Keperawatan

Nyeri (akut) b/d peningkatan frekuensi kontraksi ureteral, taruma jaringan, edema dan iskemia seluler.

No

Intervensi

Rasional

1

Catat lokasi, lamanya/intensitas nyeri (skala 1-10) dan penyebarannya. Perhatiakn tanda non verbal seperti: peningkatan TD dan DN, gelisah, meringis, merintih, menggelepar.

Membantu evaluasi tempat obstruksi dan kemajuan gerakan batu. Nyeri panggul sering menyebar ke punggung, lipat paha, genitalia sehubungan dengan proksimitas pleksus saraf dan pembuluh darah yang menyuplai area lain. Nyeri tiba-tiba dan hebat dapat menimbulkan gelisah, takut/cemas.

2

Jelaskan penyebab nyeri dan pentingnya melaporkan kepada staf perawatan setiap perubahan karakteristik nyeri yang terjadi.

Melaporkan nyeri secara dini memberikan kesempatan pemberian analgesi pada waktu yang tepat dan membantu meningkatkan kemampuan koping klien dalam menurunkan ansietas.

3

Lakukan tindakan yang mendukung kenyamanan (seperti masase ringan/kompres hangat pada punggung, lingkungan yang tenang)

Meningkatkan relaksasi dan menurunkan ketegangan otot

4

Bantu/dorong pernapasan dalam, bimbingan imajinasi dan aktivitas terapeutik

Mengalihkan perhatian dan membantu relaksasi otot

5

Batu/dorong peningkatan aktivitas (ambulasi aktif) sesuai indikasi disertai asupan cairan sedikitnya 3-4 liter perhari dalam batas toleransi jantung.

Aktivitas fisik dan hidrasi yang adekuat meningkatkan lewatnya batu, mencegah stasis urine dan mencegah pembentukan batu selanjutnya.

6

Perhatikan peningkatan/menetapnya keluhan nyeri abdomen.

Obstruksi lengkap ureter dapat menyebabkan perforasi dan ekstravasasiurine ke dalam area perrenal, hal ini merupakan kedaruratan bedah akut.

7

Kolaborasi pemberian obat sesuai program terapi:

Analgetik,

Antispasmodik,

Kortikosteroid

Analgetik (gol. narkotik) biasanya diberikan selama episode akut untuk menurunkan kolik ureter dan meningkatkan relaksasi otot/mental

Menurunkan refleks spasme, dapat menurunkan kolik dan nyeri.

Mungkin digunakan untuk menurunkan edema jaringan untuk membantu gerakan batu.

8

Pertahankan patensi kateter urine bila diperlukan

Mencegah stasis/retensi urine, menurunkan risiko peningkatan tekanan ginjal dan infeksi

Perubahan eliminasi urine b/d stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal dan ureter, obstruksi mekanik dan peradangan.

No

Intervensi

Rasional

1

Awasi asupan dan haluaran, karakteristik urine, catat adanya keluaran batu

Memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi. Penemuan batu memungkinkan identifikasi tipe batu dan mempengaruhi pilihan terapi

2

Tentukan pola berkemih normal klien dan perhatikan variasi yang terjadi

Batu saluran kemih dapat menyebabkan peningkatan eksitabilitas saraf sehingga menimbulkan sensasi kebutuhan berkemih segera. Biasanya frekuensi dan urgensi meningkat bila batu mendekati pertemuan uretrovesikal.

3

Dorong peningkatan asupan cairan.

Peningkatan hidrasi dapat membilas bakteri, darah, debris dan membantu lewatnya batu

4

Observasi perubahan status mental, perilaku atau tingkat kesadaran

Akumulasi sisa uremik dan ketidakseimbangan elektrolit dapat menjadi toksik pada SSP

5

Pantau hasil pemeriksaan laboratorium (elektrolit, BUN, kreatinin)

Peninggian BUN, kreatinin dan elektrolit menjukkan disfungsi ginjal

6

Berikan obat sesuai indikasi:

Asetazolamid (Diamox), Alupurinol (Ziloprim)

Hidroklorotiazid (Esidrix, Hidroiuril), Klortalidon (Higroton)

Amonium klorida, kalium atau natrium fosfat (Sal-Hepatika)

Agen antigout mis: Alupurinol (Ziloprim)

Antibiotika

Natrium bikarbonat

Asam askorbat

Meningkatkan pH urine (alkalinitas) untuk menurnkan pembentukan batu asam.

Mencegah stasis urine ddan menurunkan pembentukan batu kalsium.

Menurunkan pembentukan batu fosfat

Menurnkan produksi asam urat.

Mungkin diperlukan bila ada ISK

Mengganti kehilangan yang tidak dapat teratasi selama pembuangan bikarbonat dan atau alkalinisasi urine, dapat mencegah pemebntukan batu.

Mengasamkan urine untuk mencegah berulangnay pembentukan batu alkalin

7

Pertahankan patensi kateter tak menetap (uereteral, uretral atau nefrostomi).

Mungkin diperlukan untuk membantu kelancaran aliran urine.

8

Irigasi dengan larutan asam atau alkali sesuai indikasi

Mengubah pH urien dapat membantu pelarutan batu dan mencegah pembentukan batu selanjutnya

9

Siapkan klien dan bantu prosedur endoskopi

Berbagai prosedur endo-urologi dapat dilakukan untuk mengeluarkan batu.


 

Kekurangan volume cairan (resiko tinggi) b/d mual/muntah (iritasi saraf abdominal

dan pelvis ginjal atau kolik ureter, diuresis pasca obstruksi.

No

Intervensi

Rasional

1

Awasi asupan dan haluaran

Mengevaluasi adanya stasis urine/kerusakan ginjal.

2

Catat insiden dan karakteristik muntah, diare.

Mual/muntah dan diare secara umum berhubungan dengan kolik ginjal karena saraf ganglion seliaka menghubungkan kedua ginjal dengan lambung.

3

Tingkatkan asupan cairan 3-4 liter/hari

Mempertahankan keseimbangan cairan untuk homeostasis, juga dimaksudkan sebagai upaya membilas batu keluar.

4

Awasi tanda vital

Indikator hiddrasi/volume sirkulasi dan kebutuhan intervensi.

5

Timbang berat badan setiap hari

Peningkatan BB yang cepat mungkin berhubungan dengan retensi.

6

Kolaborasi pemeriksaan HB/Ht dan elektrolit.

Mengkaji hidrasi dan efektiviatas intervensi.

7

Berikan cairan infus sesuai program terapi.

Mempertahankan volume sirkulasi (bila asupan per oral tidak cukup)

8

Kolaborasi pemberian diet sesuai keadaan klien

Makanan mudah cerna menurunkan aktivitas saluran cerna, mengurangi iritasi dan membantu mempertahankan cairan dan keseimbangan nutrisi.

9

Berikan obat sesuai program terapi (antiemetik misalnya Proklorperasin/ Campazin).

Antiemetik mungkin diperlukan untuk menurunkan mual/muntah.


 

Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.

No

Intervensi

Rasional

1

Tekankan pentingnya memperta-hankan asupan hidrasi 3-4 liter/hari

Pembilasan sistem ginjal menurunkan kesemapatan stasis ginjal dan pembentukan batu.

2

Kaji ulang program diet sesuai indikasi

Jenis diet yang diberikan disesuaikan dengan tipe batu yang ditemukan

3

Diet rendah purin

Idem

4

Diet rendah kalsium

Idem

5

Diet rendah oksalat

Idem

6

Diet rendah kalsium/fosfat

Idem

7

Diskusikan program obat-obatan, hindari obat yang dijual bebas

Idem.

8

Jelaskan tentang tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik (nyeri berulang, hematuria, oliguria)

Obat-obatan yang diberikan bertujuan untuk mengoreksi asiditas atau alkalinitas urine tergantung penyebab dasar pembentukan batu

9

Tunjukkan perawatan yang tepat terhadap luka insisi dan kateter bila ada

Meningkatakan kemampuan rawat diri dan kemandirian.

4). Implementasi Keperawatan

Lakukan tindakan sesuai dengan apa yang harus anda lakukan pada saat itu. Dan catat apa pun yang telah anda lakukan pada pasien.

5). Evaluasi Keperawatan

Evalusi tidakan yang telah diberikan. Jika keadaan pasien mulai membaik. Hentikan tindakan. Sebaliknya, jika keadaan pasien memburuk, intervensi harus mengalami perubahan.


 


 


 


 


 

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan sebelumnya adalah:

  1. Batu di dalam saluran kemih (Urinary Calculi) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi.
  2. Faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih yang dibedakan sebagai faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.
  3. Patofisiolofi dari batu ginjal di mulai dari  Infeksi è Pielonefritis è Ureritis è Sintitisè Hidronefrosis è Hidroureter è Pionefrosis è Urosepsis.
  4. Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur: kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP), xanthyn dan sistin. Pengetahuan tentang komposisi batu yang ditemukan penting dalam usaha pencegahan kemungkinan timbulnya batu residif.
  5. Pemeriksaan faal ginjal bertujuan mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal dan untuk mempersipkan pasien menjalani pemeriksaan foto PIV.
  6. Terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala.  Batu di dalam kandung kemih bisa menyebabkan nyeri di perut bagian bawah. Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis bisa menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat).
  7. Asuhan Keperawatan pada pasien batu ginjal dimulai dari pengkajian sampai tahap evaluasi.

3.2 Saran

Pencegahan

Setelah batu dikelurkan, tindak lanjut yang tidak kalah pentingnya adalahupaya mencegah timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7%/tahun atau kambuh >50% dalam 10 tahun.

Prinsip pencegahan didasarkan pada kandungan unsur penyusun batu yang telah diangkat. Secara umum, tindakan pencegahan yang perlu dilakukan adalah:

Menghindari dehidrasi dengan minum cukup, upayakan produksi urine 2-3 liter per hari

Diet rendah zat/komponen pembentuk batu

Aktivitas harian yang cukup

Medikamentosa

Beberapa diet yang dianjurkan untuk untuk mengurangi kekambuhan adalah:

Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam.

Rendah oksalat

Rendah garam karena natiuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuria

Rendah purin

Rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada hiperkalsiuria absorbtif type II


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

DAFTAR PUSTAKA

http://www.medicastore.com/images/batu_ginjal&imgrefurl

http://fund0c.multiply.com/journal/item/101&usg

www.anneahira.com/pencegahan-penyakit/batu-ginjal.htm

http://mediailmukeperawatan-susanto.blogspot.com/2009/03/askep-batu-ginjal.html